Korban Sepakbola Modern

Berita mengenai pengunduran diri Jurgen Klopp dari Dortmund sontak membuat khalayak persepakbolaan dunia terkejut. Spekulasi akan tujuan berikutnya pun segera bermunculan. Terhitung sejak berita itu keluar, ada beberapa klub yang disinyalir menjadi tempat pemberhentian bagi sang pelatih kharismatik tersebut. Mulai dari Man City, Liverpool, Napoli, bahkan klub kesayangan kita ini pun tak luput dari pemberitaan. Le professeur tak tinggal diam. “Sirkus” adalah istilah yang digunakannya untuk menanggapi kemungkinan dilengserkannya ia oleh Klopp.

Apa yang terjadi? Mengapa begitu tiba-tiba? Bukankah ia sukses membawa Dortmund, yang nyaris bangkrut pasca menjuarai UCL di tahun 1997, menjadi juara liga 2 musim berturut-turut (2011 & 2012), mempersembahkan gelar double di 2012, bahkan berhasil mencapai final UCL pada 2013 lalu setelah mempecundangi Real Madrid?

Klopp mungkin telah menjadi korban perubahan dinamika di dunia persepakbolaan. Dunia yang tidak sama ketika Alex Ferguson sukses menorehkan gelar treble sampai-sampai klub setan merah menjadi klub yang amat dibenci oleh para hipster. Dunia yang ia tinggali saat ini adalah dunia dimana uang memainkan peran besar. Sejatinya sudah sejak lama uang berpengaruh besar pada elemen-elemen kehidupan kita. Namun, bagi persepakbolaan sendiri, agaknya baru benar-benar dirasuki oleh benda laknat nan-diagungkan tersebut di awal-awal millenium.

Apa yang dikerjakan oleh Klopp terkait pembinaan pemain di Dortmund tidak jauh berbeda dengan Wenger. It’s all about preserving football bagi mereka. Sayangnya, Klopp tidak memiliki gelar Sarjana Ekonomi layaknya Wenger (atau saya). Klopp tidak memfokuskan pekerjaannya di aspek tersebut. Bagi pelatih kelahiran Stuttgart tahun 1967 tersebut, hanya elemen “on the field” yang menjadi perhatiannya. Sementara elemen “off the field” adalah urusan Chairman Hans-Joachim Watzke dan Sporting Director Michael Zorc.

Adakah klub yang teramat mendominasi liga layaknya Bayern Muenchen saat ini?

Dengan model kepemilikan ala Jerman, dimana saham klub dimiliki oleh supporter, rasa-rasanya berat untuk bisa punya financial power yang besar. Investor asing dipagari agar sulit untuk memiliki klub-klub di negara tersebut. Hal ini menjadi semakin sulit ketika Muenchen sudah sangat jauh meninggalkan yang lain, dari sisi finansial. Lalu, tanpa uang yang cukup, apa jadinya? Mario Goetze, Robert Lewandowski, Shinji Kagawa, Nuri Sahin, tak menutup kemungkinan Marco Reus dan Mats Hummels di musim depan, satu per satu mulai meninggalkan klub walaupun beberapa kembali karena menyadari bahwa uang bukan segalanya. Waktu bermain lebih berarti. Sulit bagi Klopp untuk bisa mempertahankan gaya permainan ketika para pemainnya datang dan pergi silih berganti. Karena tidak saja ia harus menemukan seseorang dengan skill yang sesuai tapi juga mental yang sesuai. Ia pun bukan tidak menyesuaikan gaya permainannya. Namun, lihat hasilnya. Dengan intensitas pressing yang berkurang, Dortmund musim ini harus bangga dengan rekor kebobolan minimal 1.0 gol per pertandingan dan terpuruk di papan bawah.

Saya dengan berat hati mengatakan bahwa orang yang menganggap pemain sepakbola harus punya “loyalitas” kepada klub dan menolak tawaran cek kosong, termasuk golongan naif. Totti, Gerrard, Maldini, Adams, Bergomi, bukanlah rata-rata atau standar di industri ini. Mereka adalah outliers, standar deviasi dari kurva distribusi normal yang hari ini amat terpusat pada orang-orang macam Radamel Falcao dan Jorge Mendez.

Kalau melihat kenyataan yang ada, tidakkah kita semua bersyukur atas apa yang telah dikerjakan Wenger selama 10 tahun belakangan ini? Tidak saja ia sukses membangun pabrik yang menghasilkan produk-produk masa depan sepakbola tapi ia membangun sebuah pabrik yang profitable dan self-sustainable. “We’re not in the position to sell our best player” ujarnya dengan bangga ketika ditanya perihal kemungkinan hengkangnya Jack Wilshere musim depan. Arsenal siap menghadapi badai yang dihasilkan oleh para miliarder kaya yang berlagak seperti kehabisan ide untuk menghamburkan uangnya. Badai yang membuat klub dengan keuangan terbatas akan terpuruk dalam sebuah lingkaran setan. Uang dulu atau prestasi dulu? Tanpa uang prestasi tak datang, tanpa prestasi tak dapat uang, terus berputar-putar tiada akhir. Bagi para miliarder tersebut, klub sepakbola tak ubah layaknya mainan mobil-mobilan yang mereka miliki kala mereka masih belajar buang air kecil. Saat beranjak dewasa, tentu mereka beralih ke hal yang lebih prestige.

Untuk urusan taktik, pendapat diantara gooners mengenai Wenger agaknya masih bervariasi. Sebagian masih menantikan pembuktian sang manajer di ajang Liga Champions. Namun, untuk urusan duit, WOB dan AKB sepertinya telah menemukan sebuah common ground yang bisa dipijak.

About Arsya The Gooner

I'm forever Arsenal.

Leave a comment